Sulaksono, Dwi Putro. Preservasi Bahan Serat Dan Kayu: Studi Antropologi Dayak Desa Hutan Kalimantan, 2008; Museum Grafika Indonesia, Banjarbaru.

  

Preservasi Bahan Serat Dan Kayu: Studi Antropologi Dayak Desa Hutan Kalimantan.

vi + 94 halaman; 7,17 x 10,12 cm

Apendix; Glossary; Index;

Rp. 45.000,-

 

ISBN  : 

 

Penerbit:

Museum Grafika Indonesia

Museum Lambung Mangkurat

Jln. Jend. A. Yani Km. 35,5 (0511) 4772453 Banjarbaru 70711

Propinsi Kalimantan Selatan.

E-Mail  :  dwiMuslam@telkom.net

Website:  www.geocities.com/iccmmuslam

 image0021

Studi preservasi dengan pendekatan sociobiology  dilakukan untuk memberikan perlindungan preventive secara menyeluruh terhadap objek-objek benda peninggalan kebudayaan manusia, studi preservasi juga bertujuan untuk menemukan hubungan genealogis dari suku-suku bangsa dengan cara lebih menaruh perhatian kepada perbedaan dan kemiripan budaya dari berbagai suku-suku bangsa yang dipelajari. Mengapa suatu kebudayaan dalam suatu wilayah demografi tertentu nampak begitu dekat, dan dalam beberapa unsur kebudayaannya cenderung menampakkan corak-corak khas yang hampir mirip dengan kebudayaan tetangganya; namun suatu kebudayaan tertentu justru cenderung menampakkan sifat kemurnian (origin) dan berbeda dari kebudayaan lainnya. Sebagian ahli antropologi berpendapat bahwa perbedaan dan kemiripan kebudayaan yang dijumpai pada suku-suku bangsa itu, lebih ditentukan oleh faktor genetik di dalam sifat-sifat biologi dari ras suku-suku bangsa tersebut, dan bukan ditentukan oleh faktor budayanya. Faktor budaya yang mendasari berbagai tindakan dan aktivitas berpola pada suku-suku bangsa itu sebenarnya lebih ditentukan oleh lingkungan (ekosistem) pembentuk perilaku-perilaku khusus di dalam sistem sosial manusia. Namun begitu, evolusi budaya sebenarnya telah terbentuk melalui sebuah proses yang sama dengan yang dihasilkan manusia melalui evolusi biologinya. Perilaku budaya manusia yang ditujukan untuk meningkatkan kesanggupan seorang individu di dalam mengembangkan keturunan dan kesanggupan sifat genetiknya untuk dapat bertahan hidup dalam kondisi alam tertentu, sebenarnya juga merupakan kesanggupannya secara selektif mengembangkan pola-pola budayanya.

Ahli sociobiology E.O. Wilson (1977: 132; 1978: 20ff) telah membuat daftar dari sejumlah unsur-unsur budaya yang ditanggapinya sebagai bagian dari kehidupan manusia. Di antara sejumlah daftar yang dibuatnya itu, simbol-simbol semantisme bahasa adalah merupakan unsur yang sangat penting. Menurutnya, unsur bahasa yang terdapat pada manusia memiliki sifat unik dan harus ditanggapi secara genetik. Makhluk homo sapiens memiliki sifat genetik yang unik berdasarkan pada kapasitasnya di dalam menerima, memasukkan, dan mentransmisikan secara selektif ‘muatan bebas’ dari kandungan gennya guna beresponsi secara sosial. Kebudayaan manusia, bagaimanapun juga, telah berkembang melalui tahapan-tahapan yang selalu bertambah kapasitasnya, memenuhi dunia ini dengan kebutuhan sosial manusia dan hasil-hasil karya (artefak) yang secara paralel dihasilkan melalui sifat-sifat inheren di dalam perilaku budayanya. Ahli-ahli antropologi, melalui pendekatan socio-biology, kemudian lebih memahami simbol-simbol semantisme bahasa itu ke dalam sebuah interpretasi kebudayaan dengan cara menelusuri unsur-unsur genealogis dari suku-suku bangsa, sehingga diperoleh sebuah kerangka berpikir: Mengapa manusia dengan latar belakang kebudayaan suku-suku bangsa tertentu menggunakan tanda-tanda (sign) dan simbol (symbols) di dalam setiap aktivitas kebudayaan dan benda-benda kebudayaannya.

Pendekatan sociobiology dalam studi preservasi ini digunakan mengingat hampir tidak pernah dijumpainya lagi fosil-fosil paleoantropologi dalam periode akhir abad 19 dan permulaan abad 20, sehingga untuk menemukan hubungan genealogi melalui mitologi-mitologi kuno yang terdapat hidup di antara suku-suku bangsa di dunia – di mana sampai saat ini, metode sejarah juga masih belum dapat digunakan secara menyeluruh di dalam menentukan angka pertanggalan anno domini. Diakronik antropologi menggunakan pendekatan sejarah secara kontekstual pada bagian-bagian sejarah yang disebut hystorical particularistic. Dalam model sociobiology (Wilson, 1977) terdapat 13 buah parameter yang tidak mungkin seluruhnya juga dapat digunakan dalam penelitian ini, terutama oleh keterbatasan laboratorium untuk pengujian DNA. Namun begitu, kita masih dapat menggunakan model pendekatan sociobiology ini dengan melihat pada beberapa parameter yang diantaranya: a) genealogy suku-suku bangsa, b) cara-cara penyampaian nilai-nilai budaya melalui socialization and internalizations, c) perbedaan tingkat kecerdasan pada setiap suku-bangsa yang terlihat dari cara-cara manusia menghasilkan benda-benda kebudayaan serta pemakaian simbol-simbol di dalam keseluruhan tindakan dan aktivitas kebudayaannya, dan d) reproductive success, yaitu kesanggupan dari suatu kebudayaan menampakkan sifatnya origin untuk intensitas waktu yang cukup lama.