The Preservation Studies    

     

Sejak jaman kuno dilluvium berbagai jenis peralatan hidup dan teknologi telah dikenal dalam kebudayaan manusia. Hampir bersamaan dengan dimulainya cara-cara pertanian, masyarakat undagi dalam menghasilkan peralatan hidup dari bahan perunggu dan besi juga telah membuat berbagai wadah-wadah dari bahan tanah liat dan tembikar. Teknik pembuatan bahan tembikar diawali dengan cara menumpuk, membentuk, dan memukul-mukul gumpalan tanah (coilling technique) sampai dengan pembentukan lebih lanjut (retouching) untuk menjadi bentuk gerabah. Membuat bahan cetakan logam dengan teknik cire and reside juga dikerjakan dengan cara yang sama, sampai dengan cara-cara membuat bahan cetakan dengan teknik linning process memerlukan teknik pembakaran untuk mengeluarkan bentuk dasar dari bahan logam yang akan dicetak, dan sejak itu juga gerabah mulai dikenal dengan sebutan ‘baked clay’ atau barang-barang ‘pecah belah’, periuk, dan belanga yang diperoleh dari hasil teknologi dengan pembakaran pada wadah-wadah tembikar. Semua perkembangan teknik di dalam pembuatan wadah tembikar dari teknologi prasejarah sampai pada tahap ini lebih dikenal dengan sebutan pemakaian teknologi antara dalam tahapan evolusi organik kebudayaan manusia.     

Pada waktu talam duduk dan talam pemutar (pottery wheels) dikenal di dalam teknologi  pembuatan barang tembikar, kebudayaan messo-amerika kemudian berkembang sangat maju melalui kebudayaan precolumbian culture yang telah memperkenalkan teknik metalurgi, yaitu ditemukannya jenis roda pemutar yang dapat menggerakkan mesin-mesin turbin – sejak itu juga pemakaian teknologi madya dalam kebudayaan manusia mulai memasuki tahap evolusi superorganik yang ditandai dengan beberapa tahapan revolusi (pertanian, industri, dan kompleks industri perkotaan). Dalam tahap pemakaian teknologi madya ini, bahan dasar tembikar juga mulai di kembangkan dengan pemakaian bahan tambahan di samping tanah liat yang umum, berbagai bahan porselin  dari jenis batuan muda kaolin nampaknya lebih tepat untuk dikerjakan dengan teknik pottery. Teknik mem berikan warna dan melapisi bagian luar permukaan (polishing technique) untuk bahan tembikar dengan bahan glassir dikerjakan bersamaan dengan pemakaian bahan pewarna charcoal powder. Teknik yang sama juga dilakukan dalam memberikan motif dari corak ragam hias serta ornamen yang melekat pada bentuk artefak. Dan sejak itu, berbagai jenis wadah tempayan, guci, piring, mangkuk, dan beberapa jenis nekara dari bahan pecah belah mulai lebih dikenal dengan sebutan barang-barang keramik (ceramics ware).     

Kata keramik secara historis berasal dari bahasa Yunani ‘keramos’, yaitu nama anak laki-laki Dewi Ariadne dan Bachus yang dianggap sebagai dewa pelindung barang pecah belah. Orang Skandinavia menyebut barang porselen dengan sebutan glass gow. Di dalam lingkup museum, pengertian keramik lebih dititikberatkan pada semua benda, baik yang terbuat dari tanah liat maupun kaolin dan diklasifikasikan ke dalam koleksi keramologika. Di Indonesia, penggunaan gerabah sebagai perlengkapan kehidupan sehari- hari sudah dikenal sejak jaman prasejarah, yaitu pada masa neolithikum kira-kira 2000 SM. Pada masa itu, gerabah sudah diproduksi secara luas dan banyak digunakan masyarakat karena benda itu tahan air, sederhana, dan mudah dibuat sehingga tradisi membuat gerabah selalu ada dan berkembang di berbagai tempat.    

     

… Persebaran dan Difusi Budaya Melalui Perdagangan …    

Benda artefak berupa tembikar mulai dikenal dalam kebudayaan Mohenjodaro dan Messopotamia. Kebudayaan itu kemudian menyebar ke dalam wilayah Arab, Asia Barat, dan Asia Tenggara. Di samping sebab utama dari migrasi penduduk, wadah tembikar juga telah terbawa oleh pedagang Hindia-Belanda dan Asia Timur Jauh melalui pelabuhan dagang Madagaskar dan masuk melalui Semenanjung Malaka ke berbagai wilayah yang ada di Indonesia. Perdagangan Asia Timur Jauh sampai ke Asia Tenggara melewati jalur darat melalui pertumbuhan kota-kota industri pedesaan di Cina, Thailand, Birma, Muangthai atau Vietnam (annam) yang lebih dikenal dengan dapur pem buatan keramik seperti Swankalok dan Sukothai. Jalur hubungan perdagangan Hindia-Belanda lebih terbuka pada waktu bangsa-bangsa kolonial memasuki wilayah kepulauan di samudera pasifik untuk menawarkan kontrak kerja sama perdagangan ‘mutual in obligated order’ yang saling menguntungkan di antara bangsa-bangsa di kepulauan pasifik termasuk Indonesia. Periode akulturasi budaya tersebut dalam sejarah kehidupan bangsa-bangsa yang didatangi lebih dikenal dengan sebutan penetration pacifique – dan hampir bersamaan dengan itu, invasi perdagangan Asia Timur Jauh, terutama bangsa Jepang yang semula datang ke Indonesia untuk menawarkan sebuah nilai mata uang (Japan Invation Money) dan lebih dikenal dengan sebutan Teikoku Sheihu, ternyata juga telah membawa berbagai jenis barang keramik dari sebuah peradaban yang lebih maju di samping barang-barang keramik Cina atau Thailand yang selama ini sudah dikenal terlebih dahulu.    

Jauh sebelum kekuatan penetrasi budaya dan invasi perdagangan Hindia-Belanda dan Asia Timur Jauh, pada abad ke 14 (1300 – 1400 M) kebudayaan dari India dan Srilanka pada masa klasik Hindu-Budha telah sampai terlebih dahulu di Indonesia. Pada masa itu, terakota sudah mulai dikenal di masyarakat. Lantai dasar dan dinding terakota sudah mulai digunakan pada jenis bangunan terranean berbentuk keraton dan tempat peribadatan. Bahan terakota juga dijumpai pada beberapa dinding gapura (Jawa dan Bali) serta fitur buatan berbentuk kanal, saluran irigasi, dan kolam pemandian suci. Rumah pada waktu itu juga sudah menunjukkan arsitektur tradisional semi-sub terranean dwelling, yaitu rumah yang dibangun di atas fondasi batu dan separuh bagian arsitektur yang lain dibangun dari bahan kayu (batu bata dan genteng juga digunakan dalam bangunan rumah). Pada masa klasik itu, cawan, nekara, dan pundi-pundi air dari bahan terakota digu nakan untuk peralatan upacara religi tempat penyimpanan abu jenasah – peradaban pada masa klasik kemudian berkembang sangat pesat sampai dengan di perkenalkannya jenis-jenis lantai dasar berbahan keramik dan batu granit, pualam dan marmer oleh bangsa-bangsa Eropa, Arab dan Teluk Persia, terutama oleh pedagang-pedagang Tiongkok yang datang dalam periode berikutnya.    

Kedatangan bangsa-bangsa di dunia melalui berbagai tahapan kapitalisme dan kolonialisme di Indonesia juga telah memasuk kan pengetahuan teknik di dalam membuat dan memasarkan produksi gerabah lokal yang beberapa sentra industrinya telah banyak dikenal seperti daerah Kasongan Jogjakarta, Singkawang di Kalimantan Barat, atau Nagara di Kalimantan Selatan. Benda artefak seperti tempayan atau guci dan piring melawen yang bentuknya sangat indah dan mulia di samping memiliki nilai sociofact sebagai status sosial yang hanya dimiliki orang-orang bangsawan, benda- benda artefak tersebut juga memiliki nilai ideofact dalam sistem kognitif suku-suku bangsa asli berupa keyakinan agama tradisi dan mitologi. Sistem Budaya berupa adat- istiadat dan tradisi dibalik mitos dan legenda tersebut justru telah diyakinkan sebagai kekuatan identitas suku-bangsa atau bangsa di Asia Tenggara.    

Mengingat pemakaiannya yang sangat luas di masyarakat maka benda-benda kebudayaan (arti facts, ecofacts, dan buildings) digolongkan fungsinya sebagai benda-benda ideofacts, socio facts, dan mantifacts. Di samping fungsi utama dari pemakaiannya sebagai benda-benda artefak, keramik juga dapat digolongkan fungsinya sebagai: a) barang dagang dan cenderamata, b) benda religi yang digunakan sebagai alat perlengkapan upacara dan ritual, c) benda pusaka (regalia) yang melam bangkan simbol primeval, d) benda prominent yang dijadikan simbol kebangsawanan, e) wadah dan peralatan rumah tangga, serta f) barang perhiasan dan lambang gengsi.     

     

… Koleksi Keramik Di Museum Lambung Mangkurat …    

Keramik asing di Museum Lambung Mangkurat umumnya berasal dari bangsa-bangsa Eropa seperti Inggris, Portugis, dan Belanda yang masuk ke dalam pemerintahan Kesultanan Banjarmasin dalam periode perdagangan kolonial dan kapitalisme (1513 s/d 1806). Pada waktu itu barang-barang keramik dipergunakan sebagai wadah air, tempat minuman keras dan anggur, serta peralatan rumah tangga lainnya. Di samping sebagai barang dagangan, keramik juga digunakan sebagai barang cenderamata dan perhiasan ruang tamu. Bentuk formalnya yang prominent juga sangat disukai oleh keluarga-keluarga bangsawan di dalam lingkungan keraton kesultanan Banjarmasin dan barang-barang keramik seperti ini juga memiliki fungsi sebagai simbol status sosial orang-orang bangsawan pada waktu itu.    

Pada waktu maskapai per dagangan Hindia-Belanda dan Asia Timur Jauh masuk ke Kalimantan Selatan, barang-barang keramik Gujarat yang berasal dari Arab, Timur Tengah, dan Asia Barat ramai dijadikan barang dagangan di samping komoditas utama berupa kopi, rempah-rempah, palawija, dan kain perca (tenun songket dan kain Tanimbar). Keramik Arab dan Timur Tengah yang bentuk formalnya berwarna polos (tidak berglasir) umumnya berbentuk botol, digunakan sebagai wadah air dan tempat menyimpan air zam-zam. Dalam periode itu juga, penyebaran agama Islam melalui aktivitas perdagangan telah memasuki kehidupan pesantren di Martapura, dan Banjarmasin pada waktu itu berkembang sebagai kota pelabuhan dagang kosmopolitan yang ramai di singgahi oleh kapal-kapal dagang dari berbagai dunia.    

Koleksi keramik berupa hiasan rumah tangga dan barang cenderamata berbentuk binatang dibawa oleh bangsa-bangsa Asia seperti Cina, Thailand, Malaysia, dan Vietnam sebagai hadiah kepada raja-raja Nusantara pada waktu per dagangan Asia Timur Jauh mulai memasuki wilayah kepulauan di Indonesia (dalam penyebaran agama Budha di wilayah Asia Tenggara). Barang perdagangan Tiongkok seperti ini masuk melalui beberapa kota pelabuhan dagang Asia seperti Yuan, Annam, Burma, dan Semenan jung Malaka. Bersamaan dengan masuknya barang dagangan seperti ini, jenis perdagangan opium juga telah memasuki beberapa daerah sehingga kerajaan-kerajaan kecil dengan pengaruh India dan Srilangka (agama Hindu) pada waktu itu mulai mengalami masa kehancur annya.    

Pada tahap awal perang dunia ke 2, bangsa Jepang mulai memasuki wilayah luas Asia Tenggara termasuk Indonesia untuk memperkenalkan mata uang baru melalui Invasi Perdagangan dan Militer Jepang di Asia Pasifik. Bersamaan dengan periode itu, keramik Jepang berbentuk piring, mangkuk, dan botol mulai ramai diperdagangkan. Sifat kesatria tentara Jepang pada waktu itu telah membangkitkan perasaan kemerdekaan pada bangsa-bangsa Melayu dan Asia Tenggara sebagai sebuah rumpun bangsa yang besar yang sama kedudukannya dengan bangsa-bangsa Eropah. Invasi Perdagangan Jepang di Indonesia berakhir pada waktu Pearl Harbour di Asia Pasifik dihancurkan oleh tentara sekutu Amerika.    

Jauh sebelum keramik asing dikenal luas pemakaiannya di masyarakat, pada masa klasik bahan terakota sudah dikenal dalam kebudayaan di Indonesia. Jenis terakota umumnya diguna kan pada lantai dasar dan dinding bangunan tempat peribadatan dan keraton. Bahan terakota yang mudah didapat di sekitar lingkungan tempat tinggal manusia juga telah digunakan sebagai wadah tanah liat untuk keperluan rumah tangga seperti menyimpan air, memasak, dan menyajikan makanan. Sebagian besar dari barang terakota juga telah dikerjakan dengan menggunakan teknik pembakaran di dalam tungku. Jenis batu bata dan genteng dari bahan terakota yang menjadi koleksi Museum Lambung Mangkurat ini diperoleh dari lokasi situs Candi Agung di Amuntai yang merupakan situs persebaran masa klasik Hindu-Budha di Kalimantan Selatan abad 13 dan 14 M. Dari hasil studi ekskavasi berikutnya di lokasi situs tersebut dijumpai juga beberapa fragmen pecahan dari barang-barang tembikar. Pada masa klasik seperti itu, bentuk tata kota pemerintahan berupa bangunan keraton, bendungan, kanal dan saluran irigasi sebenarnya juga sudah dikenal. Di samping penggunaan ilmu falak dan keahlian berlayar, masyarakat dengan unsur-unsur kebudayaan yang dibawa dari India juga telah mengenal cara-cara bercocok tanam padi, dan juga telah memiliki keahlian membuat jenis-jenis peralatan hidup dari bahan perunggu dan besi.    

Di samping barang terakota yang digunakan, jenis barang tembikar dan gerabah lokal yang merupakan cikal bakal dari semua barang keramik juga sudah dikenal sangat luas di ma syarakat. Sejak jaman neolitikum berbagai jenis barang tembikar sebenarnya juga telah dibuat dengan teknik yang masih sangat sederhana di dalam memenuhi kebutuhan hidup subsisten dan pemuasan ke butuhan hidup religi.     

Keramik Lokal     

Dengan semakin berkembangnya kebutuhan hidup dan tingkat pemakaian teknologi dalam kebudayaan manusia, berbagai jenis gerabah lokal yang semula bentuk formalnya hanya berupa cawan, nekara, dan pundi-pundi air juga telah berkembang ke dalam bentuk-bentuk formal yang lebih baik. Berbagai berbentuk tempayan, tajau atau guci memiliki fungsi sebagai simbol kebangsawanan (prominent nobility). Suku-suku bangsa di Kalimantan dengan ciri ras Melayu Asia Tenggara (Malayan Mongoloid dan Austro Melanesian) melambang kan guci sebagai sumber mata air di puncak bukit. Motif naga yang terdapat di dalam guci dilambangkan sebagai kehidup an dekat air dalam bentuk simbol primeval mountain yang melindungi Bukit Kehidupan Suci. Diatasnya adalah bentuk rumah dan simbol-simbol pusaka sebagai tempat tinggal manusia. Simbol kehidupan suci di alam atas, tempat bersemayamnya roh leluhur dan dewa-dewa kehidup an dilambangkan dalam bentuk Burung Enggang dan Mahligai, dan semua aktivitas kebudayaan (religi) yang berhubungan dengan ritual, produktivitas hutan, dan keseimbangan kosmik selalu ditujukan untuk menjaga hubungan keseimbangan antara kehidupan suci di surga dengan kehidupan profane di dunia – Motif tanaman yang terdapat di dalam guci melambangkan kesucian hidup dalam sifat feminin dan kesuburan.     

Masyarakat Banjar dan suku- suku Bukit Meratus sampai sekarang masih mempercayai Mitos Bukit Katinghayan yang menceritakan bahwa semua jenis tanaman yang ada di dunia dahulu diturunkan dari surga melalui bukit tersebut. Sedang kan sumber-sumber mata air yang mengalir dari lima pancar sungai dahulunya merupakan tumpahan dari pecahnya pasu air (tajau darah) yang terdapat di dalam bukit tersebut.    

Dalam pandangan hidup dan orientasi nilai budaya pada suku-suku bangsa itu, merawat dan memiliki guci berarti memelihara status sosial bangsawan murni yang biasanya dimiliki oleh tuan-tuan tanah feodal (land tenure). Dalam fungsi sosial yang terdapat di dalam pemakaian guci, petani feodal dan golongan bangsawan dengan keturunan campuran dapat menjadi bangsawan murni dengan cara membeli guci suci untuk menyamakan kedudukan sosial dengan bangsawan (manyama daha atau mapagantong utus). Perolehan status sosial seperti ini sangat di mungkinkan karena sifat stratifikasi sosial yang sangat terbuka (gracious open social stratifications) yang terdapat di dalam sistem nilai budaya suku-suku bangsa di Kalimantan Selatan. Menjadi bangsawan pada masyarakat petani feodal dapat diperoleh karena keber hasilan hidup di dalam menjaga produktifitas hasil-hasil hutan dan pertanian.    

     

Ceramic Ware

Dwi P. Sulaksono    

Courtessy: Lambung Mangkurat Museum Collections    

     

       

cover    

     

     

Lambung Mangkurat Museum    

The Principal Office of Culture, Youth, and Tourism; South Kalimantan Province – Indonesia    

     

………………………….    

     

     

Since the dilluvium, the technolgy of man made tools and equipment have known in the human nature. At the sequence time to the arise of cultivation, the undagian society while producing their technological equipment from the material of silver and alloyees have had produced much of container from bogs and pottery. The methode used in making potteries start with the coilling  and retouching technique for prevailing the main formal type of pottery (gerabah and tembikar). Making a brass mold in the methalurgical skill by the used of a cire and reside is produced with the same technic until the pervocated technic of the linning process that required a flaming methode on the baked van for restling out the liquid material from the brass line; and they did replace with the residiance into the brass mold. And at the time of this methode was introduced into a rapid  changes in making pottery, much of the ‘baked clay’ like jaar, cooking vessel, and pottery produced into the baked. The prehistoric technology in making pottery was developed into the distance of human evolutions.    

When the pottery wheel known, the messo-american culture was develope into the precollumbian culture in introducing methalurgical skill. That was, the gear component has discovered to empowering machine of turbine – to day, the used of the advanced technology in the human culture began to move into the superorganic evolution through the stage of revolutions (R1 for cultivations, R2 for the industrial, R3 for the complexs urban industrial). At the advance technology usage, the raw material for making pottery began to develope by the addition of porceleine and kaoline beside of the moderate bogs that have been used before. The colouring and polishing technic at the surface of pottery is plated with the charcoal powder and polishing by the glassier lacquer. The same technic is done for giving motives, art texture, and ornament into the formal type of artifactual. And after that time, much containers of jaar, water vessels, water drippers, plated, cup, and the various kind of necara from the baked clay is most famous with the ceramic (ceramic ware).    

The word of ceramics came from the faith language of the ancient greece of ‘keramos’, the son of Ariadne and Bachus that they believe as a supreme preceptors of the baked vessels. The Skandinavian call porceleine as a glass gow. At the museum, ceramic were catagorized into the artifact made from the limb, bogs, or kaoline; and they have been classified into the ceramological collections. In Indonesia, the use of pottery as a household equipment have been known in the prehistoric of neolithicum at the 2000 BC. At that time, potteries have manufactured because of the baked vessel is sophisticate, simply made of, and lubricated strange for water containers; and so, the tradition of making pottery is quite develope in a large fashioned places.    

     

… The Cultural Difussions Bring Out By The Trading Companionship …    

The artifact like pottery began to know in the Mohenjodaro and Messopotamia. Those civilizations diffusing into the Arabian culture, west Asia, and the South East Asia. Beside of the main factor of migrations, much container from pottery had been brought by the Dutch West Indie and the Far East Asian Trading Companny through out the port trading in Madagaskar into the Semenanjung Malaka (a coastal port trading in Malaysia) and turn to the large island in Indonesia. The Far East Asian Trading Companny came to the South East Asia from the continent of the fast growing industry in China, Thailand, Burma, Muangthai, and Vietnam (Annam) that most famous with the center of the ceramic industry such as Swankalok or Sukothai. The trading line of the Dutch West Indie Trading Companny is most exploited when the Dutch Collonial emerging into the large continent in the pacifique island for introducing contract of trading partnership into ‘the mutual in obligated order’ that bring much prosperious beneficiaries capital between the two nation at the Asia-Pacifique, including also the Indonesian nationals. This acculturated periode in the particularistic history of nationality is most famous with the penetrations of pacifique – and at the same time, the invation of the Far East Asia trading companny, pointed the especially account that the Japan firstly came into Indonesia for introducing the new numismatic of JIM (Japan Invation Money) and most familiar with the Teikoku Sheihu, but in factually, they also bring the maize product of the Japanees ceramic beside of the ceramic from China or Thailand.    

Before the strength of the cultural penetration and the invation of the trading company in the 14th century (1300 – 1400 M), cultural diffussion from India and Srilanka at the classic Hindu-Budhism have been intruded first into Indonesia as due to the terrakota practice deeply in the society. The tile ground and the mural screen from terrakota (limb stone) has begun to use at the terranean building like in the castle and shrine. Limb stone could also be found at the gapura (Java and Bali) and the artisanal fiture like the dick, dam, canal, irrigated land, and the petirtaan (a sacred bathing tube). The house living poverty was built by the traditional arsitecture of a semi-sub terranean dwelling. That is, the traditional building used limb stone and roof from the terrakota. At those classical periode, cawan, necara, and water dripper from terrakota were used for the tool aparatus in religion as a coffin vessels – the civilization in classic periode then was develope in the fast growing technology until the ceramic tile, granito, giok and marble had developed by the European, Arab, Persian, and the specific trade expedition from Tiongkok that came on the next periode.    

The emerging of the capitalism and the colonialism at an enormously came into the Indonesian island had also being introduced knowlege of the proper methode in selling and making the local product of pottery (gerabah and tembikar) that was most recognizeable as a central product of ceramic like in Kasongan Jogjakarta, Singkawang in West Kalimantan, or Nagara in South Kalimantan. Much of the artifact like the water vessel, jaar, bowl, and plate (melawen) that look prominent is prevailing much expressions in art, there was also function in their sociofact as a symbol of a nobel between the aristocrats – and hence for it was, beyond the surface nature of an ideofact that the ancient people have, there are also meaning that was capable enough for reflecting their cognitive thoughfullness in myth and faith of religion. Cultural system of custome and traditions behind of myth and legend has been convince as an ethnic identity or nation in South East Asia.    

Considering into the use of the cultural property, much of the heritage like artifacts, ecofacts, and buildings have categorized in the ideofact, sociofact, and mantifact. Beside of the main function of used in artifact, ceramics are classified into function as the property usage in: a) trade, giving, and souveneer, b) the faith of religion as an aparatus in rites, c) regalia that reflecting symbols of a primeval order, d) the prominence symbol of the nobility, e) container and the household equipment, and f) heirloom or privaleges.    

… Ceramic Collections in the Lambung Mangkurat Museum …    

Water Vessels    

Ceramic collections in Lambung Mangkurat Museum came from the Europe, Portugees, English, and the Dutch that have been brought into the Banjarmasin Kingdoms within the Dutch capitalism (1513 until 1806). At that time, ceramic was used for water containers, the botle of wine, and for the household equipment. Beside of the main function of property usage in trading, ceramic is also used for giving, room accessory, and for a single aparatus at the dinning room. Their formal type that look prominent is adhored by the royal kingdom families in Banjarmasin, and for the nobility, ceramic shows up their life style that was able for respecting the aristocrats.    

Botle    

When the expedition of the Dutch West Indie and the Far East Asian Trading Company dominated well into the South Kalimantan people, ceramic from Gujarat brought by the Arab, Persia, and Turky was enormously demanded for the market exchange beside of the main commodity of coffee, paprican oil, palawija, and textile quote like a songket and the tanimbar garment. The Arabian and Persian ceramic that was pure and unique in their formal types of botle used for a water container in packing out the sacred aparatus of air zam-zam. During this periode, the introducing of Islam through out the trading expeditions has been impeded well into pesantren in Martapura, and the Banjarmasin city began to develop into the cosmopolitan trading market, and there are many clippership came cruishingly into the Banjarmasin port.    

Gift and Room Accessories    

Ceramic collections like room accesories and giving complement in the image of animals was brought by the expedition from the Far East Asia: China, Thailand, Malaysia, and Vietnam as the adhorable gift to the dinasty of Nusantara Kingdoms when those trading company began to injure into the Indonesian island (the condemnation of Budhism by the chouvinism monk into the South East Asia). The goods commodity at the expedition from the Tiongkok golden triangle was entering into Indonesia through out the old Asian port of Yuan, Annam, Burma, and Malayan Coastal Port. A straight forward into the goods commodity in this expedition, there are also include the smugling material of opium for severing out the first domination of Hinduism (India and Srilanka) upon the time of the existing of the small kingdoms.    

Cup and Botle    

During the world war II, the Japanees came into South East Asia (Indonesia) for introducing the new numismatic through out the military trading invation in the Asia-Pacifique – and during these periode, the Japanees ceramic in the kind of plate, cup, bowl look like wooden vessel (raden jikiro), and botle began to demanded into market exchanges. The most heroic Japan nationality have been built the spirit of independence into the Indonesian nationals as a malayan mongoloid (South East Asia) nation that should be stand in equal with the Europe. The Japanees trading invation in Indonesia was finished after the main port of Pearl Harbour in the pacifique island had been dissolved by the American United.     

Terrakota    

But, far at the distance – before the ceramic from Europe known in Indonesia, the terakota have used at the classic periode of Hinduism. Terrakota used for tile floor in the mural buildings, the terakota material can easily preserve to perform as a baked clay for the utilitarian objectives used in a household equipment like in watering, cooking, and dining need. Much of terakota is produced by the enlargement technic in a baked van. Roof and limb stone from terakota that has been accessed in museum was restoraged from Candi Agung in Amuntai. That is, the diffussion range of the clasic Hindu-Budhism concentrate in South Kalimantan at the 13th and 14th century. From the result of the next escavation study, a pair of fragmented pottery found in this site locations. From this classic indicated in a bed layer escavations, the empirely city plan of the dwelling poverty with the castle building, dick, dam, and canal for irrigated land have been arranged immensely. Beside of the know how in the astrology and shippery, the India culture have adherence into the ruin people such as the proper methode in planting beads of paddy, shipwreck, and the distance technolgy in black smith culture.     

Beside of the terakota usage, the local product of goods in pottery (gerabah and tembikar), that was, the old predecessors of ceramic has being used in vein. Since the neolithicum much of the pottery was self sufficiently produced in the old fashioned form by using the appropriate environment technology for satisfying the substance life in a faith of religion. According into the requirement of technology usage at the human milleu, the ordinary style of local product pottery like cawan, necara, and the water dripper have developed into the most aesthetic form of artifacts. Much of jaar have a sociofact for a prominent nobility symbols. The ethnic in Kalimantan with the typical race of malayan mongoloid and austro melanesian was symbolizing a jaar as a water resourcement at the primeval mountain. The dragon motive in a jaar is prevailing code of a life affarences at the primeval mountain. The above feature that encoded as a house and regalia is assume as the home living poverty of human. The sacred life symbol of the eternity is believed as the living place of their deity and anchestors wich was symbolized as an hornbill and a mahligai (life tree), and the all of their cultural behaviour that was releying on rites, productions, and cosmics are substanced to keep the balance of the inter-causalistic between a sacred primeval order and the world life of profane – the floral plantation motive in a jaar is reflecting the feminine life of the mundanity and the fertility.    

Jaar    

Banjar and Meratus people believe in myth of Katinghayan Mountain that tells about the prosperity. Releying on this mythology, much of variety in plantation and human rehearsal is inherrited from the trunk of the tree at the primeval mountain – and water resource fload into the five river that explode from the dissolved of a sacred jaar (tajau darah) at the hill is cursed by their God punishment to the moon people cycletees.    

Under a strange value orientation at their folkways, collecting and treating a jaar is supposed to keep maintained on the status in a prominent nobility that should be practice by a land tenure. The social functions of the used of a sacred jaar is also able for manyama daha or mapagantung utus (being nobel). The achievement status is quite possible because of their open social stratifications was gracious into their custom and tradition. Being nobel within the feodal peasant is permitted by the successive prosperiously product in a great harvesting cropt and plantation.    

     

     

     

     

Lambung Mangkurat Museum    

Conservation to the Cultural Heritage